Sabtu, 17 Mei 2008

Sumatera Selatan di Usia 62 Tahun

DIIBARATKAN umur manusia,Sumatera Selatan sudah menapaki usia sepuhnya. Melewati batas usia pensiun bagi rata-rata pegawai negeri sipil (PNS) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) noneselon.

Juga sudah dua tahun di atas usia pensiun pejabat eselon I dan II. Namun, belum mencapai batas usia pensiun dosen dan guru besar, yang masing-masing dijatah 65 dan 70 tahun. Usia 62 tahun sudah jadi penyandang KTP seumur hidup.

Dalam masalah administrasi kependudukan, tak perlu repot-repot lagi. Bisa mem-PHK-kan diri dari aktivitas administrasi yang menyangkut urusan ke RT, Kelurahan maupun Kantor Kecamatan. Tetapi, dalam kehidupan demokrasi tetap diperhitungkan.

Meskipun tua, tetap punya hak suara. Usia tua sering dihadapkan pada tiga tawaran. Mau tua bangka, tua renta atau tua keladi. Kelompok pertama, tuanya karena proses alami atau termakan usia. Makan minum masih bebas pantangan, Tidur juga masih bisa menikmati mimpi yang indah. Beda dengan kelompok tua renta. Usia tua yang ”diboncengi” berbagai keluhan, terkait langsung dengan kondisi dan kesehatan tubuh. Larangan demi larangan datang silih berganti. ”Wilayah operasi” selera semakin menyempit. Rata-rata diminati panti jompo. Sementara, tua keladi lain lagi. Sebutannya saja sudah memberi kesan negatif. Usia tua, tapi banyak ulah, memaksa diri bergaya pesona.

Tingkah laku menyurut ke usia muda, semacam ABG yang sudah kadaluwarsa. Sampai-sampai pepatah terpaksa harus mengeluarkan sindiran khusus, Tua-tua keladi, makin tua makin jadi. Diibaratkan tanaman keladi yang menebarkan rasa “gatal” bila tersentuh kulit. Sumatera Selatan, jelas beda dengan perumpamaan itu. Malah kondisinya terbalik. Menapaki usia yang ke- 62, tampilan Sumatera Selatan kian ceria.

Perjalanan sejarah yang dilalui ikut memadati wilayah ini dengan berbagai pengalaman yang berharga. Dengan potensi sumber daya alam yang tersedia, serta estafet kepemimpinannya, Sumatera Selatan terus membenah diri. Usia tua sama sekali tidak menjadi faktor penghambat untuk membangun diri. Secara kronologis, perjalanan Sumatera Selatan menjadi provinsi, terangkai dalam rentang waktu yang cukup panjang.

Sebelum beralih kekuasaan kolonial Belanda dan Jepang, sudah ada tiga penguasa wilayah ini. Puyang Melayu (Djohan Hanafiah, 1995: 8-10); Kedatuan Sriwijaya dari abad ke 7 hingga abad ke-13 (Ensiklopedi Indonesia, 1992); serta Kesultanan Palembang, sejak 1640–1791 (Djohan Hanafiah: 192-193). Kesultanan Palembang di bawah Sultan Mahmud Badaruddin II baru menyerah pada 1821. Setelah penyerahan kekuasaan dan ketika Sultan diasingkan ke Ternate, Belanda masih belum dapat menikmati kemenangan itu sepenuhnya.

Para pengikut setia Sultan Mahmud Badaruddin II di wilayah pedalaman, siap meneruskan peperangan terutama di wilayah Sindang. Baru pada 3 Juni 1823 diambil alih oleh Belanda berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal 3 Juni 1823 (Kamil Mhruf,Nanang S Soetadji, Djohan Hanafiah, 1999:162).

Secara de jure, kekuasaan politik kolonial Belanda sudah berakhir, tepat saat kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan. Namun faktanya (de facto), tidak demikian. Belanda tampaknya masih ingin bercokol lebih lama di bumi nusantara. Dalam kedudukannya sebagai Letnan Gubernur Jenderal, Hubertus Johannes Van Mook sempat mengajukan dasar-dasar pembentukan negara bagian di luar kekuasaan Republik Indonesia (Ensiklopedi Indonesia:1992).

Di Sumatera Selatan, gagasan Van Mook itu membuahkan hasil, yakni mendirikan Negara Sumatera Selatan (NSS). Wilayah Sumatera Selatan yang terdiri dari lima Keresidenan, yakni Palembang, Bengkulu, Lampung, Bangka-Belitung dan Jambi, menjadi tidak utuh. Sebagian wilayah Keresidenan Palembang masih dimasukkan ke dalam wilayah Negara Sumatera Selatan.

Mengiringi hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), 2 November 1949, Belanda mendapat tekanan dunia internasional. Maka, pada 18 Maret 1950, wilayah kekuasaan NSS diserah terimakan kepada Gubernur Sumatera Selatan dr M Isa (Ali Amin, 1998). Selanjutnya, dengan adanya serah terima ini, ibukota Sumatera Selatan kembali ke Palembang.

Sebelumnya, masih berada di Curup dan kemudian pindah ke Bengkulu. Dengan demikian, wilayah administratif yang mencakup lima Keresidenan itu menjadi utuh, yang kemudian dikenal dengan Sumatera Bagian Selatan. Ibarat orangtua dengan pertambahan usia maka Sumatera Selatan telah berhasil mendewasakan anak-anaknya.

Satu per satu Keresidenan di bawah naungannya, melepaskan diri, seperti Lampung, Jambi, Bengkulu dan terakhir Kepulauan Bangka-Belitung, masing-masing menjadi provinsi yang berdiri sendiri. Palembang sebagai ibukota, berkembang pesat menjadi kota metropolis.

Di usianya yang ke-62, Sumatera Selatan juga sudah disibukkan oleh kelahiran “cucu-cucunya.” Sejak Undang- Undang No 22 dan Nomor 25/1999 diberlakukan, lahir sejumlah kabupaten dan kota. Sekarang wilayah Sumatera Selatan telah diramaikan oleh 15 kabupaten dan Kota. Baik provinsi, maupun kabupaten/ kota, dipimpin oleh tokoh berusia muda. Rata-rata masih berada di bawah usia Provinsi Sumatera Selatan.

Para pemimpin muda ini terkesan cukup cerdas memaknai pesan tersirat dalam kedua undang-undang dimaksud, lalu merumuskannya dalam program pembangunan daerah. Kerja keras yang didorong kesadaran akan pentingnya makna pembangunan bagi percepatan terwujudnya kesejahteraan masyarakat, telah menunjukkan hasil yang signifikan.

Sejumlah prestasi telah berhasil diraih. Keberhasilan ini tidak hanya terbatas pada bangunan fisik material seperti infrastruktur serta sarana dan prasarana daerah. Lebih dari itu, berbagai prestasi yang ikut “mencuatkan” reputasi Sumatera Selatan di pentas nasional hingga internasional, juga turut diraih. Penyelenggaraan PON XVI, Pekan Nasional XII KTNA, Sriwijaya Fair, Convention Dunia Melayu-Dunia Islam, Visit Musi Year 2008 sampai ke pencetusan Sumatera Selatan sebagai lumbung energi dan lumbung pangan nasional.

Strategi pembangunan yang dinilai tepat arah ini pula agaknya yang dijadikan salah satu penilaian pemerintah pusat dalam penganugerahan Bintang Mahaputra Utama kepada Pak Gubernur. Di rangkaian itu, para bupati dan wali kota, dengan prestasi di bidang masing-masing, ikut pula menambah rangkaian penghargaan yang diperoleh Sumatera Selatan.

Kita yakin, gerak pembangunan Sumatera Selatan tak bakal mandek oleh isu Tanjung Api Api. Anggap saja itu hanya sebuah “goresan” teguran kecil, sidokah cawah, ghonik atau mak api-api. Dirgahayu Sumatera Selatan! Guru Besar IAIN Raden Fatah Palembang, PROF JALALUDDIN.

Tidak ada komentar: