Sabtu, 17 Mei 2008

Mengarungi Laut demi Sebuah Ujian

Mentari baru saja terbit di ufuk timur. Ombak Laut Natuna bergulung-gulung. Sebanyak 26 siswa SD Negeri 6 Pulau Lemukutan, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, bertaruh nyawa menyeberangi laut agar bisa mengikuti ujian akhir sekolah berstandar nasional atau UASBN.

Mereka menyeberangi laut karena UASBN yang dimulai pada Selasa (13/5) dilaksanakan dengan sistem rayonisasi dan kali ini dipusatkan di SD Negeri 3 Karimunting. Jadilah murid-murid SD Negeri 6 Pulau Lemukutan menyeberangi laut sejauh 19 mil laut (sekitar 35,19 kilometer), Minggu atau dua hari menjelang pelaksanaan UASBN.

“Kami tidak mungkin datang mendadak pas pelaksanaan UASBN karena kondisi laut sulit diduga,” kata Tarmizi, salah seorang guru SD Negeri 6 Pulau Lemukutan. Perjalanan menuju tempat pelaksanaan UASBN juga bukan perkara gampang. Mereka harus menyeberangi Laut Natuna menuju pesisir Pulau Kalimantan di Teluk Suak, Kabupaten Bengkayang. Selanjutnya, mereka masih harus naik angkutan umum selama lebih kurang 15 menit menempuh jarak 10 kilometer untuk mencapai SD Negeri 3 Karimunting.

Selain 26 siswa SD Negeri 6 Pulau Lemukutan, 17 siswa lainnya dari SD Negeri 9 Sungai Sinjun dan Madrasah Ibtidaiah Al Anwar melakukan hal yang sama. Raut muka sebagian siswa yang menyeberangi laut menggunakan perahu motor tambang ukuran 12 meter x 3 meter bermesin 24 PK itu ada yang ceria karena merasa seperti piknik, tetapi ada juga yang tegang.

“Takut, deg-degan,” kata salah satu siswa bernama Hengki (12 th) saat ditanya apa yang dirasakannya saat perahu terombang-ambing diayun gelombang ombak. Ketakutan dan perasaan was-was itu ternyata bukan karena ombak setinggi 0,25 meter yang berkali-kali mengombang-ambingkan kapal. Namun, karena ia takut tidak bisa menjawab soal ujian, lalu nilainya jelek dan akhirnya tidak lulus. Ketakutan serupa dialami Sri Udin (13 th), siswa yang tergolong pandai di antara mereka. “Try-out lalu, kata Pak Guru, hasilnya semua siswa tak lulus,” ujarnya.

Ya, bagi anak pulau, menyeberangi lautan bukanlah hal baru karena itu dialami setidaknya setiap mereka sakit dan butuh perawatan dokter di Kota Singkawang. Ombak yang mengayun perahu dengan arah yang tidak menentu seakan mewakili kegalauan siswa akan kelulusannya.

Segala kerepotan belum berakhir. Begitu sampai di kompleks SD Negeri 3 Karimunting, mereka harus membersihkan bangunan tua di seberang jalan yang akan menjadi tempat menginap. Bangunan tembok berukuran 9 meter x 6 meter tanpa penghuni itu dahulu merupakan rumah dinas guru SD Negeri 3 Karimunting. Selain kumuh dan tidak berlistrik, atap rumah itu juga bocor.

Tanpa dikomando, siswa langsung menyapu lantai rumah yang penuh debu. Setelah bersih, beberapa siswa langsung menggelar tikar yang mereka bawa dari rumah. Tikar inilah yang nantinya menjadi alas mereka tidur di atas lantai semen hingga ujian berakhir. Untuk makan, mereka mengupah warga setempat untuk menyediakannya. Dibutuhkan biaya sekitar Rp 10 juta bagi kelompok siswa ini untuk mengikuti UASBN, sejak try-out hingga pelaksanaan ujian. Biaya paling mahal tentu untuk sewa dan bahan bakar perahu.

Sistem rayonisasi ini juga merepotkan sekolah di pedalaman Kalbar dan Kalsel. Salah satunya adalah SD Negeri 16 Segitak Kecamatan Bunut Hulu Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat. Ubang, Kepala SD Negeri 16 Segitak mengatakan, untuk mengikuti UASBN, sembilan siswanya harus menempuh perjalanan darat dan sungai menuju SD Negeri 1 Nanga Semangut.

Dua hari menjelang ujian, siswa yang didampingi guru menyusuri jalan setapak di hutan sejauh 10 kilometer selama lebih kurang 1,5 jam menuju Dusun Kelibang. Selanjutnya, perjalanan dari Kelibang ke SD Negeri 1 Nanga Semangut menggunakan speedboat 15 PK dengan ongkos sewa Rp 150.000,00 untuk sekali jalan. Di sana mereka menginap di rumah penduduk.

“Untuk bekal selama menginap di Nanga Semangut, tiap-tiap siswa membawa pakaian dan perlengkapan pribadi, beras 4 kilogram, sayur-mayur dan lauk-pauk. Siswa juga ada yang membawa kompor untuk memasak bersama di sana. Bisa dikatakan, selama tinggal di sana mereka hidup mandiri didampingi guru,” kata Ubang.

Kondisi yang sama dialami sekitar 41 anak dari Pegunungan Meratus yang tinggal di perbatasan Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan Kotabaru Kalsel. Warga Desa Juhu dan Batu Perahu itu sehari menjelang pelaksanaan UASBN sudah tiba di Desa Hinas Kiri Kecamatan Batang Alai Timur Hulu Sungai Tengah. Selanjutnya, mereka menumpang di beberapa rumah warga yang berbaik hati.

Tak perlu jauh ke Kalimantan, di Kabupaten Cianjur Jawa Barat, kesulitan melaksanakan UASBN juga dirasakan sejumlah siswa. Bagi murid-murid kelas VI Kampung Bunikasih Kecamatan Cikadu Kabupaten Cianjur misalnya, mereka harus bangun tidur dini hari lalu berjalan kaki menyusuri jalan licin dan berbatu sekitar 10 kilometer menuju tempat UASBN di SD Negeri Sindangkasih Desa Mekarmukti Kecamatan Cibinong Cianjur. Tak ada angkutan umum menuju lokasi UASBN.

Karena hari masih gelap saat murid-murid ini berangkat, mereka terpaksa menggunakan obor untuk penerangan di jalan. “Sudah biasa begini, paling kaki sedikit pegal-pegal,” kata Dian, salah seorang siswa peserta UASBN, yang dibenarkan temannya, Nia dan Damiri.

Selain keterbatasan sarana menuju sekolah, fasilitas pendidikan mereka juga sangat terbatas. Dian misalnya, hanya mempunyai satu buku pelajaran Bahasa Indonesia 6B terbitan 2004 pinjaman dari sekolah dan beberapa buku tulis berisi catatan. Damiri bahkan menghadapi UASBN tanpa satu buku pelajaran pun.

Anak-anak SD Negeri Sindangkasih lainnya, seperti Euis, Kamal dan Eneng dari Kampung Tipar Desa Mekarmukti mengalami hal sama. Mereka berangkat sejak dini hari dengan obor sebagai penerang tergenggam di tangan. Sebetulnya terdapat kendaraan semacam omprengan yang akan menuju Ciwidey pada pukul 05.00. Namun, mereka lebih sering harus berjalan kaki karena kendaraan penuh atau tidak sanggup membayar ongkos Rp 1.000,00 sekali jalan. “Karena keterbatasan ini, kami menargetkan standar kelulusan (2,5) dua koma lima,” kata Kepala SD Negeri Sindangkasih Rahman. Dalam kondisi seperti inilah UASBN dilaksanakan. (AS)

Tidak ada komentar: