Kamis, 15 Mei 2008

Market Has No Mercy, Policy Has No Memory?

MARKET has no mercy. Pasar tak memiliki belas kasih. Kenaikan harga-harga komoditas pangan dan energi telah menciptakan kecemasan dan kepanikan di mana-mana.

Semua antisipasi, asumsi dan janji-janji yang pernah kita dengar ternyata rontok. Bulan lalu kita baru saja menyepakati APBN-Perubahan 2008, antara lain dengan mengubah asumsi harga minyak dari USD 60 menjadi USD 95 per barel. Kita berharap gejolak ekonomi dunia dapat diredam melalui politik APBN kita.

Hari-hari ini kita kembali kecewa karena perhitungan yang dibuat kembali meleset. Serangkaian janji untuk tidak lagi menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sampai 2009 juga terbukti kalah oleh kemauan pasar. Berkali-kali kita diimbau untuk tenang karena menaikkan harga BBM akan merupakan pilihan terakhir.

Media massa mencatat janji-janji tersebut dari segenap jajaran, dari Presiden (13/12/2006, 7/11/2007, 5/3/ 2008 dan 18/4/2008), Wakil Presiden (26/11/2005, 8/5/2007, 11/3/2008), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral serta Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas (23/10/2007, 13/2/2008, 21/2/2008 dan terakhir 26/3/2008). Pada intinya, pemerintah akan mencari cara lain yang cespleng.

Kondisi 2008 juga berbeda dengan kondisi 2005, saat pemerintah menaikkan harga BBM dua kali, yaitu Maret 2005 (29 persen) dan Oktober 2005 (125 persen),karena saat ini daya beli rakyat telah tergerus oleh kenaikan harga bahan pangan. Selain itu, pemerintah masih melihat berbagai peluang terobosan, termasuk melakukan penghematan dari sisi pengeluaran.

Pada saat harga minyak melesat naik, kita kurang beruntung karena produksi minyak terus menurun. Sepuluh tahun lalu, produksi kita masih sekitar 1,5 juta barel per hari, kemudian merosot menjadi sekitar 1,1 juta barel (2001–2006) dan di bawah 1 juta barel sejak 2007.

Bersamaan dengan penurunan produksi tersebut, biaya produksi BBM di dalam negeri terus membengkak. Sebagian karena penggelembungan pada besaran cost recovery, sebagaimana ditunjukkan oleh audit BPK. Sebagian lain karena ketidak efisienan di sisi ekspor dan impor.

Di sisi lain, diversifikasi sumber energi juga berjalan lambat. Kesan yang muncul di mata rakyat, pemerintah belum all-out (habis-habisan) mencari alternatif lain. Yang terjadi malahan dianggap out-all (salah jalan) atau too little too late (terlalu sedikit dan lamban). Kata orang, kalau cari utang baru agresif, tapi kalau cari alternatif baru defensif. Sebagai bangsa yang arif kita tak boleh berburuk sangka.

Konversi minyak tanah ke elpiji sesungguhnya merupakan langkah terobosan. Di atas kertas, pengguna elpiji akan memperoleh penghematan pengeluaran. Program ini juga mendorong munculnya budaya merencanakan dan menabung di lapisan masyarakat miskin karena untuk membeli tabung elpiji isi ulang dibutuhkan dana lebih besar, berbeda dengan membeli minyak tanah yang bisa dibeli eceran. Janji melakukan penghematan lebih sulit dirasakan.

Soalnya petinggi birokrasi masih saja sibuk dengan acara yang berbau pemborosan. Sungguh aneh, di zaman teknologi komunikasi-informasi demikian maju, sampai-sampai Bill Gates bicara tentang “Second Digital Decade” (9/5/2008), anggaran perjalanan dinas para penjabat sulit ditekan.

Rasa keadilan masyarakat juga terganggu bila membandingkan subsidi energi (BBM dan listrik) dan pengeluaran untuk cicilan pokok dan bunga utang,yaitu Rp 187 triliun berbanding Rp 158 triliun. Kenaikan BBM akan menghemat sekitar Rp 25 triliun atau sekitar Rp 14 triliun setelah sebagian dikembalikan sebagai bantuan langsung tunai (BLT).

Apakah restrukturisasi dan renegosiasi utang tidak bisa menghasilkan penghematan yang sepadan atau bahkan lebih besar? Biaya sosial kenaikan BBM juga besar dan berlangsung lama.Anggapan bahwa dampak inflatoar kenaikan BBM bersifat sesaat (one shoot) juga kurang tepat. Kenaikan BBM Oktober 2005 telah menaikkan angka kemiskinan dari 31,1 juta (2005) menjadi 39,3 juta (2006).

Pukulan serupa terjadi di sektor manufaktur, yang tumbuh 7,2 persen (2004) menjadi 5,1 persen (2007). Jumlah penganggur juga naik dari 9,9 persen (2004) menjadi 10,4 persen (2006). Berbagai kegiatan kompensasi kenaikan BBM juga harus dilakukan secara cermat dan tepat sasaran. Pemberian BLT selama ini kurang akurat karena administrasi kependudukan kita lemah.

Bila basis data 2005 yang digunakan, diperkirakan 15-20 persen penduduk miskin tidak terjangkau program ini. Ide “cash-for-work” lebih baik dan produktif dibanding pemberian BLT cuma-cuma. Lebih elok melihat orang bekerja dibanding menyaksikan barisan orang antri berebut santunan kemiskinan.

Hanya harus diakui, potensi penyimpangan dalam proses menyalurkan dan membuat administrasi “cash-for-work” akan jauh lebih besar. Jangan sampai menjadi kebiasaan, setiap kali kita hendak menaikkan harga BBM, alasan yang digunakan selalu alasan yang sama atau itu-itu juga.

Alasan yang menikmati subsidi itu orang kaya merupakan alasan yang berbahaya dalam konteks masyarakat yang secara kuat masih diwarnai hubungan extended-family dan rasio ketergantungan yang tinggi. Demikian pula setiap kali mengurangi angka kemiskinan, jangan sampai dikesankan yang dilakukan hanya bagi-bagi BLT, sesuatu yang sifatnya jangka pendek yang nasibnya tergantung pada siklus tahunan APBN. Jangan berikan ikan, tetapi berikan kail.

Agar lebih permanen, berikan kolam yaitu lapangan pekerjaan, agar barisan yang antri BLT kelak berubah menjadi angkatan kerja yang produktif. Pro dan kontra kenaikan harga BBM masih akan terus terjadi.

Sebagai warga dari negara miskin kita terus dipaksa untuk mengikuti “the law of one price” dari proses globalisasi dan liberalisasi pasar. Jangan iri bila kita membayar harga produk hampir sama dengan yang dibayar warga dari negara kaya yang pendapatan per kapitanya jauh lebih besar. Logika pasar ini setiap saat bisa mengempaskan janji-janji kebijakan. Jangan sampai terjadi, kebijakan tak punya masa lalu. Penulis, Guru Besar UKSW Salatiga. Alumnus Tinbergen Institute, Belanda. PROF HENDRAWAN SUPRATIKNO PHD

Tidak ada komentar: